Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat selama ini sering disebut sebagai salah satu wilayah dengan kualitas udara yang tergolong baik. Namun, benarkah kondisi itu masih relevan di tengah berbagai tantangan lingkungan yang semakin nyata? Kita perlu menelisik lebih dalam sebab, dampak, dan antisipasi terhadap potensi krisis kualitas udara di wilayah ini.
DLH Kabupaten Tasikmalaya melalui https://dlhkabtasikmalaya.org/ menjadi salah satu instansi yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memantau kualitas udara di wilayah ini. Pada pagi hari yang seharusnya bersih dan segar, warga Tasikmalaya belakangan mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda: udara terasa lebih berat, debu halus mulai muncul di kaca jendela, bahkan beberapa orang mulai mengeluhkan iritasi tenggorokan atau mata. Walaupun pada tanggal 29 Juni 2025 tercatat bahwa indeks kualitas udara (ISPU) untuk Kabupaten Tasikmalaya adalah angka 11 yang artinya sangat baik menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun di sisi lain, ketika melihat data pemantauan real-time untuk wilayah Tasikmalaya kota (bukan seluruh kabupaten), nilai konsentrasi PM2.5 mencapai hingga 55.9 µg/m³ atau 11 kali lipat dari pedoman tahunan World Health Organization, yang masuk kategori “tidak sehat”. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita memasuki fase di mana kualitas udara mulai memburuk secara tersembunyi?
Beberapa faktor utama mulai memperlihatkan gejala yang kurang menguntungkan. Kegiatan transportasi yang meningkat, terutama kendaraan bermotor pribadi, menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara. Polusi dari knalpot selama ini dikenal sebagai sumber utama partikel halus (PM2.5) dan nitrogen dioksida (NO₂) yang sulit dikendalikan. Pertumbuhan industri dan aktivitas pabrik pengolahan kayu, logam, maupun tekstil di kawasan sekitar Tasikmalaya yang belum sepenuhnya menerapkan standar emisi ketat juga menambah beban polusi lokal. Pembakaran terbuka limbah, sisa pertanian, atau sampah rumah tangga di pinggiran kota yang sering tidak terpantau, turut memperburuk situasi.
Selain itu, kondisi geografis Tasikmalaya yang dikelilingi pegunungan dan memiliki kelembaban tinggi membuat potensi stagnasi udara meningkat. Apabila emisi terus terjadi dan angin lemah, polutan akan terakumulasi di udara. Cuaca dan kualitas udara regional juga menjadi faktor penting. Pada beberapa hari di awal 2025, wilayah Jawa Barat tercatat dalam kategori “tidak sehat untuk kelompok sensitif”, termasuk Tasikmalaya yang mencapai AQI 148 pada 6 Maret 2025. Walaupun data pagi hari menunjukkan kondisi baik, lonjakan polusi di jam-jam tertentu menunjukkan adanya potensi krisis udara di masa depan.
Ketika kualitas udara menurun, dampaknya mulai terasa pada kesehatan dan lingkungan. Partikel PM2.5 yang sangat kecil dapat menembus paru-paru dan masuk ke aliran darah, meningkatkan risiko penyakit pernapasan, kardiovaskular, hingga memperburuk asma dan alergi. Anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis menjadi kelompok yang paling rentan. Dari sisi lingkungan, penurunan kualitas udara bisa mempengaruhi visibilitas, menyebabkan korosi bangunan, bahkan mengganggu ekosistem lokal seperti tanaman yang mulai stres akibat polusi udara. Jika kondisi stagnasi udara terus berlanjut, potensi hujan asam atau deposisi polutan ke tanah dan air juga bisa meningkat, yang pada akhirnya membebani sektor pertanian di Tasikmalaya.
Apabila situasi ini tidak diantisipasi dengan serius, maka bukan tidak mungkin Tasikmalaya akan menghadapi krisis lingkungan dalam beberapa tahun mendatang. Krisis di sini bukan berarti kehancuran total, tetapi kondisi di mana kualitas udara secara rutin berada di kategori tidak sehat, berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, dan mengganggu ekonomi lokal karena produktivitas menurun. Tantangan utamanya adalah sistem pemantauan udara yang masih terbatas. Walaupun data kabupaten menunjukkan angka sangat baik, data real-time di kota menunjukkan fluktuasi yang mengkhawatirkan. Ini menandakan pemantauan masih perlu diperkuat agar mencakup seluruh wilayah, bukan hanya titik tertentu.
Kesadaran masyarakat juga menjadi kunci. Banyak warga yang masih menganggap udara kotor hanya berasal dari pabrik, padahal pembakaran sampah dan penggunaan kendaraan pribadi setiap hari turut memperburuk polusi. Pemerintah daerah bersama instansi lingkungan hidup perlu mengawasi emisi industri, kendaraan, serta pembakaran limbah dengan lebih ketat. Jika penegakan aturan lemah, pencemaran akan terus meningkat. Kerja sama lintas sektor antara pemerintah, industri, masyarakat, dan akademisi sangat dibutuhkan untuk menciptakan solusi jangka panjang seperti penghijauan kota, sistem transportasi bersih, serta kampanye udara sehat.
Meskipun tantangan besar, ada alasan untuk tetap optimis. Data beberapa hari menunjukkan bahwa Kabupaten Tasikmalaya pernah berada di posisi terbaik kualitas udara nasional, bahkan menjadi kabupaten dengan udara paling bersih pada pagi hari 29 Juni 2025 dengan indeks 11. Kondisi terbaik ini masih bisa dicapai kembali jika langkah strategis dilakukan secara konsisten. Memperkuat dan memperbanyak stasiun pemantauan udara, menambah ruang hijau, serta mendorong penggunaan kendaraan listrik dapat menjadi solusi awal. Edukasi masyarakat untuk tidak membakar sampah dan membiasakan memeriksa kualitas udara setiap hari juga akan membantu menjaga kesehatan publik.
DLH Kabupaten Tasikmalaya melalui https://dlhkabtasikmalaya.org/ juga perlu terus memperluas program pemantauan udara, memperketat pengawasan emisi, serta menggandeng masyarakat dalam menjaga lingkungan. Jika kondisi kualitas udara di Kabupaten Tasikmalaya tidak segera mendapat perhatian serius, meskipun data pagi hari menunjukkan hasil baik, wilayah ini bisa saja cepat beralih dari “udara bersih” menjadi “udara berisiko.” Dengan sedikit perubahan aktivitas manusia, kondisi atmosfer dapat memburuk dengan cepat. Oleh karena itu, langkah preventif, peningkatan kesadaran, dan kerja sama lintas sektor perlu segera diperkuat agar Tasikmalaya tetap menjadi wilayah yang nyaman dan aman untuk bernapas.





