Berikut Beberapa Media Online yang Abal-abal

Media online menjadi pangsa pasar yang menguntungkan. Karena pengguna media sosial di Indonesia sudah melebihi setengah jumlah penduduk Indonesia. Sehingga media sosial menjadi ladang yang luas untuk persebaran banyak informasi.

 Hal tersebut berpotensi untuk menyemaikan informasi hoaks. Sehingga muncul media online yang abal-abal. Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui media tersebut. Berikut ini beberapa ciri medianya.

 Media Online Abal-abal Tidak Berbadan Hukum

Dilansir dari liputan enam dari pendapat Ratna Komala (Dewan Pers), bahwa media yang profesional itu memiliki badan hukum. Alamat redaksi jelas, bukan mengalamatkan palsu. Dari keterangan ini dapat dijadikan dasar untuk media online.

 Ketika Anda ingin datang ke kantor, media online yang profesional akan memberikan alamat yang sebenarnya. Misalnya Anda ingin memesan barang dan mengecek, Anda dapat membuktikan keberadaan kantor.

 Mencantumkan Nama Penanggung Jawab

Sebagaimana identitas diri, media online yang profesional akan menunjukkan penanggung jawab. Berbeda dengan media online yang abal-abal yang tidak menunjukkan siapa pemiliknya.

 Pemilik akan tampil di bagian home dan menunjukkan identitas asli. Identitas bisa muncul di credit title. Credit title merupakan deretan nama yang berperan serta dalam pembuatan film. Definisi ini dapat dijadikan ukuran bahwa credit title suatu media dapat menunjukkan siapa saja pembuatnya.

 Penanggung jawab dapat ditelusuri untuk mempertanggungjawabkan apa saja yang telah disediakan dalam media online. Jika ternyata terbukti media online yang abal-abal, kemungkinan identitas tidak mudah ditemukan oleh pembaca.

 Pemberitaan Bersifat Subjektif

Sebagaimana diketahui bahwa kode etik jurnalistik ialah tidak boleh menghakimi sehingga menerapkan asas praduga tak bersalah. Jika suatu media bersifat subjektif tanpa memperhatikan kaidah tersebut, maka media sedang mengusik persoalan.

 Padahal media profesional dibekali kode etik, bahwa mereka tidak menyebarkan berita dengan ujaran kebencian atau merendahkan pihak lain. Jika suatu media menayangkan hal ini, maka media tersebut bukan media professional.

 Berita Lebih Provokatif

Bahasa provokatif sehingga memojokkan pihak tertentu tanpa dasar juga termasuk bagian ciri media online abal-abal. Media online termasuk bagian media jurnalistik, maka secara kode etiknya dilarang untuk mencampurkan fakta dan opini.

 Jika ada media dengan bahasa provokatif tanpa dasar, bukan iklan produk komersial, maka media tersebut bukan media profesional. Mengingat bahasa provokatif cenderung menampilkan keberpihakan dengan kepentingan tertentu. Biasanya muncul pada momen tertentu.

 Media Terbit secara Temporer

Lagi menurut pendapat dari Ratna Komala, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/4/2017), munculnya media online yang abal-abal itu secara temporer. Maksudnya muncul dalam waktu-waktu tertentu.

 Misalnya dalam hal kampanye, munculnya pihak lain yang menyebarkan informasi untuk menggiring opini publik. Lalu pada satu waktu tertentu, informasi bisa hilang tanpa pertanggungjawaban atau situs tidak bisa ditelusuri.

 Tidak Terklarifikasi, Sehingga Informasi Salah

Media online profesional berani mempublikasikan kembali klarifikasi tentang informasi yang dibuat. Hal ini tidak akan mengurangi kredibilitas suatu media online yang dikelola. Sebab ini sebagai wujud transparansi suatu media yang berkualitas.

 Media online yang abal-abal belum tentu melakukan hal serupa. Mengingat kembali pada penjelasan sebelumnya, nilai subjektifitas yang lebih didahulukan. Sebab ada kepentingan dari suatu kelompok. Sehingga mempertahankan pendapatnya. Jika ada klarifikasi, kemungkinan akan merusak citra diri.

 Judul yang Cenderung Umpan Balik

Media sosial yang profesional tidak asal dalam menuliskan judul. Tidak serampangan. Dilansir dari Romelteamedia dengan mengutip pendapat Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, Prof. DR Dr. Henri Subiakto, S.H., MA., bahwa isi media abal-abal itu ngawur.

 Di samping itu, ia menambahkan bahwa alamat media online yang abal-abal tidaklah jelas. Identitas juga tidak jelas. Selain itu, di penjelasan lain Romelteamedia menyebutkan bahwa situs abal-abal tidak mencantumkan nama yang jelas, seperti identitas yang hanya anonimus, yang tidak jelas.

 Menabrak Aturan Penulisan Tidak Sesuai Kode Etik Jurnalistik

Media online profesional mengindahkan kode etik jurnalistik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas isi dan stafnya bekerja secara profesional. Judul dibuat sesuai dengan kaidah bahasa tanpa menunjukkan ekspresi berlebih.

 Media online yang abal-abal sebaliknya. Mereka dapat menulis judul berita atau informasi dengan maksud umpan balik (clickbait). Seperti bahasa yang sensasional, “Wow,” ” Jangan lakukan ini,” “Lihatlah yang Akan terjadi,” dan sebagainya. Ini biasanya membuat pengguna internet langsung tertuju pada web sekali klik.

 Pada dasarnya hal tersebut tidak baik. Karena berita dengan judul yang tidak transparan justru membohongi publik. Bukan sekedar mencari atau mengejar trafik. Terkadang judul dan isinya tidak sesuai. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam mengonsumsi berita.

 Termasuk dalam Yellow Jurnalistik

Biasanya media online yang abal-abal menghalalkan segala cara agar trafik naik. Inilah yang pada selanjutnya memunculkan vers baru Jurnalistik Kuning. Padahal jurnalistik ini bukan jurnalistik yang baik dengan kesan hanya agar pembaca tertarik.

 Oleh karena itu jangan tertarik jika ada yang muncul tiba-tiba dengan judul sensasional dan sering diulang untuk beberapa bahasan yang berbeda. Kepentingan trafik ini dapat mengelabui pembaca. Karena sistem SEO pernah memperingatkan hal ini. Lambat laun pembaca meninggalkan.

 Saran untuk Pembaca Menghindari Situs Online Abal-abal

Setelah mengetahui ciri-ciri media online yang abal-abal, sebaiknya Anda menghindari situs-situs yang memiliki ciri tersebut. Sebab informasi yang tidak berkualitas dibaca terus-menerus akan menjadikan kebiasaan.

 Tidak menyebarkan konten yang berbau perpecahan dan menyulut konflik SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan). Karena dengan begitu, Anda menjadi lebih bijak menyikapi keberadaan media online, dan lebih selektif dalam menerima informasi.

Bagikan Artikel